Ironi yang Membuat Dedi Mulyadi Larang Guru Beri PR ke Siswa

Ironi yang Membuat Dedi Mulyadi

Ironi yang Membuat Dedi Mulyadi – Dedi Mulyadi, mantan Bupati Purwakarta yang dikenal vokal dan berani menyuarakan berbagai kritik terhadap sistem pendidikan, membuat gebrakan kontroversial. Ia terang-terangan melarang guru memberikan pekerjaan rumah (PR) kepada siswa. Pernyataan ini sontak menimbulkan gelombang pro-kontra. Di balik larangan tersebut, tersimpan sebuah ironi besar yang patut kita telaah lebih dalam.


PR: Beban atau Sarana Pembelajaran?

PR selama ini di anggap sebagai bagian tak terpisahkan dari dunia pendidikan. Namun, faktanya, banyak siswa yang justru mengeluh karena beban PR yang berlebihan membuat mereka stres dan kehilangan waktu bermain atau beristirahat. Dedi Mulyadi menyoroti hal ini dengan tajam, menyebut PR sebagai “momok” yang membebani anak-anak. Ia melihat bahwa PR tak jarang jadi sumber tekanan mental dan fisik yang berlebihan, alih-alih memperkuat pemahaman materi.

Namun, ironi mulai terasa ketika kita menyadari bahwa sistem pendidikan yang di dukung pemerintah pun masih sangat bergantung pada tugas-tugas rumah sebagai indikator keberhasilan guru dan sekolah. Sementara di satu sisi, Dedi menolak PR, di sisi lain sistem yang ada justru terus memaksakan metode pengajaran yang berorientasi pada angka dan kuantitas tugas. Ini menjadi tanda tanya besar: apakah Dedi Mulyadi benar-benar bisa melawan arus sistem pendidikan yang sudah sedemikian kaku dan birokratis?


Ironi Sistem Pendidikan yang Tak Pernah Berubah

Dedi Mulyadi melarang PR dengan alasan ingin memberikan ruang bagi anak untuk mengembangkan kreativitas dan mengurangi stres. Ide mulia, tentu saja. Namun, ironisnya, sistem pendidikan di Indonesia masih sangat membebani guru dengan target dan tuntutan administratif yang membuat mereka sulit berinovasi tanpa bergantung pada PR sebagai alat evaluasi.

Guru-guru di paksa memenuhi kuota penugasan untuk membuktikan bahwa pembelajaran berjalan sesuai standar kurikulum. PR jadi alat ukur yang mudah dan cepat untuk menunjukkan hasil kerja guru, meskipun sebenarnya hal tersebut sering kali tidak mencerminkan kualitas pembelajaran. Dedi Mulyadi menghadapi kenyataan pahit ini: larangan member PR seolah melawan mesin besar yang tak mudah di patahkan.

Baca juga: https://www.sdn1wayhandak.com/


Dampak Sosial dan Psikologis di Balik PR

PR yang menumpuk tak hanya membuat siswa kelelahan, tapi juga menimbulkan efek psikologis yang serius. Anak-anak kehilangan waktu untuk bermain, berkumpul bersama keluarga, bahkan untuk sekadar beristirahat dengan baik. Hal ini menciptakan tekanan mental yang berkelanjutan, memicu stres dan kecemasan yang berdampak pada motivasi belajar mereka.

Dedi Mulyadi menangkap fenomena ini dengan jeli. Ia ingin membalik paradigma bahwa pendidikan bukan hanya soal angka dan tugas yang menumpuk, tapi soal membangun karakter dan kesejahteraan psikologis siswa. Larangan memberi PR menjadi bentuk perlawanan terhadap budaya “kerja lembur” dalam dunia pendidikan yang selama ini dianggap biasa saja.


Harapan atau Sekadar Kritik Tanpa Tindakan?

Namun, yang jadi pertanyaan besar adalah, apakah larangan Dedi Mulyadi ini benar-benar bisa di terapkan di lapangan? Apakah guru-guru dan institusi pendidikan siap mengubah cara mereka mengajar tanpa bergantung pada PR? Atau apakah ini hanya sekadar pernyataan provokatif tanpa solusi konkret?

Sistem pendidikan kita sangat birokratis dan sulit berubah secara cepat. Larangan PR yang di usung Dedi berpotensi hanya menjadi kritik tajam tanpa implementasi nyata jika tidak di dukung oleh perubahan sistemik, pelatihan guru, dan kebijakan yang mendorong inovasi pendidikan.


Dedi Mulyadi memang membongkar ironi besar dalam dunia pendidikan: bagaimana sesuatu yang seharusnya membantu justru menjadi beban yang mengekang kreativitas dan kebahagiaan anak-anak. Larangannya memberi PR bukan hanya soal menolak tugas sekolah, tapi mengajak kita untuk berpikir ulang tentang apa sebenarnya tujuan pendidikan dan bagaimana kita bisa mewujudkannya tanpa mengorbankan generasi muda.

Apakah sistem kita siap berubah? Atau ironinya, larangan ini hanya akan menjadi wacana yang tenggelam dalam tumpukan tugas sekolah dan rutinitas PR yang tak kunjung usai?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *