Sejarah Kurikulum Pendidikan di Indonesia dari Masa ke Masa

Sejarah Kurikulum Pendidikan – Sejak Indonesia merdeka hingga hari ini, kurikulum pendidikan tidak pernah benar-benar lepas dari cengkeraman kekuasaan. Setiap pergantian rezim politik selalu di iringi dengan perubahan kurikulum, seolah-olah pendidikan hanyalah alat untuk mencetak generasi sesuai kepentingan penguasa. Jangan tertipu dengan istilah “penyesuaian zaman” — karena faktanya, banyak kurikulum di ubah lebih karena motif ideologis, bukan kebutuhan siswa.

Kurikulum 1947: Warisan Kolonial yang Dipoles

Pertama yang di gunakan setelah kemerdekaan adalah Kurikulum 1947, atau lebih di kenal dengan nama Rentjana Pelajaran 1947. Kurikulum ini masih sangat kental dengan nuansa kolonial. Fokus utamanya bukan pada pengembangan karakter bangsa, melainkan pada transfer pengetahuan dasar. Tujuan utama? Mencetak pekerja dan birokrat, bukan pemikir bebas. Tak heran jika pendidikan kala itu masih kaku dan tidak menyentuh realitas sosial masyarakat Indonesia https://www.sdn1wayhandak.com/.

Kurikulum 1964 dan 1968: Pendidikan dalam Bayang-Bayang Politik

Ketika Orde Lama berkuasa, Kurikulum 1964 di perkenalkan dengan gagasan “Pancawardhana” — lima aspek perkembangan: moral, kecerdasan, emosional/artistik, keterampilan, dan jasmani. Terdengar indah, tapi realitanya kurikulum ini sarat propaganda anti-Barat dan pro-komunis. Lalu datanglah Orde Baru yang menyapu bersih pengaruh politik kiri dan menggantinya dengan Kurikulum 1968, yang kaku, militeristik, dan penuh indoktrinasi. Pendidikan di jadikan alat negara untuk membentuk manusia “pembangunan” yang patuh dan tidak banyak bertanya.

Kurikulum 1994 dan KBK 2004: Modernisasi Setengah Hati

Di era reformasi, muncul Kurikulum 1994 yang mencoba mengakomodasi berbagai mata pelajaran secara seimbang. Namun sistem ini justru membebani siswa dengan jadwal padat dan tumpang tindih antar mata pelajaran. Lalu di gantikan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) 2004 yang di gadang-gadang lebih “progresif”, namun pelaksanaannya kacau karena guru tidak siap dan sarana belum memadai. Seolah-olah pemerintah melempar bom waktu ke ruang kelas tanpa petunjuk evakuasi.

Kurikulum 2013 dan Merdeka Belajar: Inovasi atau Ilusi?

Kurikulum 2013 hadir dengan semangat integrasi nilai-nilai karakter dan kecakapan abad 21. Namun lagi-lagi, implementasinya setengah hati. Guru kebingungan, siswa tertekan. Lalu lahirlah Kurikulum Merdeka — yang katanya memberi kebebasan pada sekolah dan guru. Tapi pertanyaannya: kebebasan untuk siapa? Banyak sekolah di daerah terpencil masih tertinggal, tidak punya akses teknologi, dan kekurangan guru. Apakah mereka juga “merdeka”?

Baca juga artikel kami yang lainnya: 200 Sekolah Rakyat Siap Dibangun Tahun Ini

Pertanyaan Penting: Untuk Siapa Kurikulum Ini?

Melihat sejarah kurikulum di Indonesia, satu hal jadi terang: pendidikan kita tidak pernah benar-benar di rancang untuk membebaskan pikiran rakyat. Ia lebih sering di jadikan alat politik, proyek ambisius tanpa solusi konkret. Kurikulum berubah, tetapi sistem tetap sama: sentralistik, birokratis, dan mengabaikan realitas di lapangan. Sudah waktunya publik bertanya dan menuntut: pendidikan kita ini sebenarnya untuk siapa?

Ada 3 Juta Penganggur Lulusan SMA-SMK

Ada 3 Juta Penganggur – Menteri Perlindungan Pekerja Migran Indonesia Abdul Kadir menyampaikan bahwa dari 7,5 juta orang penganggur di Indonesia, sekitar 3 juta merupakan lulusan SMA dan SMK, sedangkan 2,5 juta lainnya adalah lulusan SMP.

Di sisi lain, data BP2MI menunjukkan terdapat sekitar 5,2 juta pekerja migran Indonesia yang bekerja di luar negeri, dengan 57,3 persen bekerja di sektor informal dan 70 persen di antaranya adalah perempuan dengan pendidikan rata-rata SD-SMP.

Baca juga : Beasiswa Indonesia Bangkit: Jenis dan Komponen Beasiswa yang Diberikan

Kesepakatan ini mencakup pemetaan potensi calon pekerja, peningkatan kompetensi, standardisasi, dan pembinaan untuk memastikan kualitas lulusan.

“Masalah utama penempatan pekerjaan negara kita ini adalah soal kompetensi, soal kompetensi.

Pekerja migran di nilai bisa bantu APBN

Menurut dia, peran pekerja migran dalam perekonomian suatu negara sangatlah besar. Ia mencontohkan Filipina, yang memperoleh pendapatna hingga ribuan triliun rupiah dari pekerja migrannya.

Para pekerja migran juga menjadi penyumbang signifikan bagi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) mereka.

Kerja sama dengan 12 instansi

Abdul menegaskan bahwa di tengah angka pengangguran dalam negeri yang berpotensi terus meningkat, salah satu solusi terbaik adalah dengan memaksimalkan penyerapan tenaga kerja di dalam negeri. Ia mengatakan pihaknya akan mengoptimalkan berbagai langkah strategis guna menciptakan lebih banyak peluang kerja bagi masyarakat.

“Kami akan mendorong agar ada kesempatan kerja di luar negeri. Jadi yang kami lakukan dalam membangun ekosistem pelatihan atau ekosistem vokasi ini adalah bekerja sama dengan semua kementerian dan lembaga yang ada,” jelas Abdul.

Menurut Abdul, pihaknya saat ini sudah mengadakan kerja sama dengan 12 lembaga atau kementerian yang bisa membantu pelatihan vokasi. Salah satunya adalah dengan Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah yang dipimpin oleh Menteri Abdul Mu’ti.

Peluang gaji tinggi di luar negeri

Dalam kesempatan yang sama, Abdul Kadir juga membandingkan tingkat kesejahteraan tenaga kerja di dalam dan luar negeri.

“Saat ini, gaji perawat di Korea atau Jepang berkisar antara Rp 20 juta hingga Rp 25 juta per bulan. Sementara itu, gaji UMK tertinggi di Indonesia, seperti di Jakarta, hanya sekitar Rp 5 jutaan, di Karawang Rp 5 jutaan, dan di daerah lain bisa lebih rendah, sekitar Rp 3 jutaan hingga Rp 4 jutaan,” ungkapnya.

Ia juga menyebut bahwa pekerja migran yang memiliki sertifikasi khusus bisa memperoleh gaji antara Rp 50 juta hingga Rp 80 juta per bulan.